Belum lima menit aku masuk untuk kemudian duduk di kursi kebesaran di depan kelas, Dia sudah menghadap dan berkata, “Bu, permisi…” sambil menatap penuh harap.
Ya, Dia, bukan dia…. Tahukah engkau siapa nama lengkapnya ? dialah, Diandra Meidiawan. Penampilan cuek, sedikit lusuh, rambut poni agak melewati mata, sering disibbakkannya supaya terlihat tidak kepanjangan, menghindari razia.
Setelah Diandra berlalu ke arah toilet, salah seorang anak yang berbisik,
“Bu, Dia mah suka izin ke WC padahal maen bal terus gak balik lagi ke kelas."
Dan aku Cuma bilang ”ooh…” mencoba menenangkan diri agar tidak terusik dan tetap fokus untuk tetap melanjutkan pembelajaran bagi 31 siswa yang lain di kelas tersebut.
“ya sudah biarkan saja, mari kita mulai pelajaran kita hari ini” kataku pada anak tersebut dengan tenang, atau lebih tepatnya ditenang-tenangkan…
Pertemuan berikutnya, aku pun terperangah sesaat, saat dia untuk kesekian kalinya meminta izin untuk ke WC, tanpa sempat kutatap matanya, karena dia langsung berlalu. Pada awalnya aku izinkan dengan tanpa syarat, dan dia kembali ke kelas dengan peluh di dahi.... (benar ternyata perkataan temannya)
Kali berikutnya aku izinkan dengan syarat,
”jangan lama-lama ya....”
Dan alhasil dia kembali setelah setengah jam berlalu.... aku biarkan dia masuk dan beri penjelasan khusus kepadanya apa yang harus dikerjakan. Dia pun menuruti kata-kataku dan mengerjakan tugas dengan tekun hingga selesai.
Hari berikutnya, ”Bu, permisi”
Untuk yang kesekian kalinya, aku izinkan dengan tangan mengacungkan 2 jari,
”2 menit ya....” ujarku.
Dan dia kembali 3 menit setelahnya, alhamdulillaaah.... tak banyak yang aku katakan. Tak kutegur atau ku ceramahi dia apalagi di depan teman-temannya. Kebetulan mood ku sedang baik.
Suatu saat lainnya, dengan cueknya dia masuk pada saat aku mengabsen,
”Bu, abdi hadir bu...” ucapnya, aku pun menoleh dan ”ya...sok duduk..” senyumku padanya. Lalu akupun menceklis namanya di daftar presensi. Untukku, itu artinya dia memberitahuku bahwa dia ingin aku menyadari kehadirannya dan tidak menghindari pembelajaran dengan menyatakan dirinya hadir pas, ketika aku mengabsen.
Pembelajaran pun berjalan dengan lancar, mereka diminta mengamati dan mencermati materi yang disuguhkan memalui in fokus. Kebetulan di kelas tersebut ada colokan listrik dan ruangan agak redup, juga terpencil dari kelas lainnya, sehingga suara dari laptop cukup menjangkau hingga ke barisan belakang.
Kegiatan pun selesai dan Dia memperhatikannya dengan seksama, kemudian aku pun menginstruksikan para siswa untuk menjawab pertanyaan berdasarkan pengamatan video pembelajaran tadi.
Saat mereka mengerjakan tugas latihan soal, aku pun berkeliling memastikan mereka paham tugasnya, atau barangkali ada siswa yang ingin bertanya atau merasa kesulitan tapi tak berani bertanya ke depan kelas. Saat itulah, aku mendengar ada siswa yang berkata,
”Bu Dia tidur...” sambil mengerlingkan matanya ke arah Dia.
Kuarahkan pandanganku ke arahnya, dan ternyata benar.... Diandra tidur pulas dengan nyamannya, bertahtakan lengan yang menopang pipinya. Aku pun beranjak mendekatinya. Sampai ke kursinya, aku periksa buku catatannya, ternyata dia sudah mengerjakannya dengan tuntas dan jawabannya pun benar semua, tulisannya rapi dan bersih. Aku tak berniat mambangunkannya, kubiarkan dia lelap. Hingga bunyi bel tanda waktu pergantian jam berakhir, Dia terperangah dan mengucek matanya yang sembab.
“Yang sudah selesai, silahkan dikumpulkan bukunya di meja ibu, biar ibu periksa dan beri nilai”, anak-anak pun berlarian segera menyerahkan bukunya, termasuk Dia. Lalu akupun menutup pembelajaran di hari itu.
***
”Aduh, ieu teh naon nya, meni ateul pisan. Aya nu nyoco kitu ?”
ujar Anna di ruang mushola guru saat kami hendak melaksanakan sholat dzuhur. Dengan sigap disambut Elsa yang menawarkan jasanya untuk menggaruk punggung Anna.
“Mana, cing kadieu urang panggarokeun” Ucapnya sambil mencoba menggaruk bagian punggung yang ditunjuk Anna.
Sambil mengarahkan ke bagian yang gatal tadi, Anna mendekatkan punggungnya ke arah Elsa.
“Tah di luhur, caket punduk…, sanes, turun sakedik....” ujar Anna sambil meringis dan menaik-turunkan bahunya.
”Ieu sanes ?” tanya Elsa
”Eh, naek deui,….ka katuhu sakedik....ka kenca…” Elsa sambil menggerakkan pundaknya ke kanan dan ke kiri
“Aduh, mana atuh… ?” Elsa mulai bingung
“Taaah etaaa….duuh tong tarik teuing ngagarona…” keluh Anna
”Heup.. Tos… nuhuuun..” Anna menutup arahannya sambil mengeluarkan nafas lega, karena rasa gatalnya telah hilang.
Menggaruk punggung adalah kegiatan yang tak bisa dilakukan oleh tangan kita sendiri karena keterbatasan jangkauan tangan kita. Mau tak mau kita harus meminta bantuan kepada orang lain untuk melakukannya.
Begitu pula yang terjadi ketika di rumah. Istri atau suami kita tiba-tiba memanggil untuk melakukan penggarukan disebabkan gatal di punggung. Sang istri datang sambil menaik-turunkan bahunya dibarengi dengan muka nyengir menahan gatal lalu menyodorkan punggungnya ke suaminya.
Supaya suami atau istri atau teman kita bisa melakukannya sesuai keinginan kita di tempat yang kita inginkan, maka harus dilakukan dengan arahan yang jelas dan tepat. Karena, apabila mereka menggaruk di tempat yang salah, bisa-bisa terjadi keributan yang tidak diinginkan. Saling menyalahkan satu sama lain. Punggung yang gatal tetap gatal tak tergaruk, malah terjadi pertengkaran.
Maka keduanya harus pada posisi sabar ; yang mengarahkan harus memberikan instruksi yang tepat, sehingga mudah dipahami dan yang menggaruk harus sabar mentaati arahan dengan baik.
Perumpamaan ini ibarat analogi dalam menangani siswa yang istimewa.
Keunikan Dia, membuatku berpikir bahwa dia cuma butuh seseorang yang mengarahkan dan memperhatikan, membuat target perbaikan untuknya dengan tepat, tak lebih. Sedikit demi sedikit dan terus-menerus tentu saja. Bukan memojokkan atau menganggap perbuatannya adalah kesalahan yang tak bisa diperbaiki.
Karena menerapkan disiplin positif itu membutuhkan pendampingan yang terus menerus dan intensif, bukan sekali jadi dan berharap anak berubah seketika.
Seperti halnya kita menangani sakit fisik luka bakar misalnya, perlu penanganan yang intensif dan lama sehingga sumbuh dengan tidak meninggalkan bekas.
Memarahi bisa membuatnya berubah saat itu, tapi mungkin dia melakukannnya karena terpaksa dan di kesempatan lain dia melakukannya kembali. Karena tidak menyentuh sisi kesadaran dirinya.
Tapi apapun yang kita lakukan untuk menyentuh sisi kesadaran instrinsik dalam dirinya, meskipun tidak saat itu juga dia berubah, proses dalam dirinya tetap terjadi, dan dia akan mengingatnya hingga suatu saat dia sadar bahwa itu benar dan dia berubah dengan sendirinya. Entah sekarang atau nanti.
Tidak semua gatal punggung berarti digaruk ditempat yang sama, hanya yang punya pungggung yang tahu, dan komunikasi yang baik bisa menghubungkan keinginan yang punya gatal di punggungnya dengan yang menggaruknya. Sehingga tercipta kelegaan.
Setiap anak mempunyai gatal yang berbeda, mereka memiliki sakit dan luka sendiri-sendiri....salam...(ESH’25).
Dimuat oleh : Herlina Agustina