Siapa yang tak kenal penyair hebat Chairil Anwar. Puisi-puisinya bahkan banyak ditemui dalam buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia. Chairil dilahirkan di Medan, 26 Juli 1922.
Puisi-puisi Chairil Anwar banyak mengungkapkan pengalaman manusia yang lengkap. Salah satunya adalah puisi ‘Nisan’ yang ditulisnya pertama kali, mengisahkan tentang kematian neneknya. Puisi Chairil juga berbicara tentang semangat, kekhusyukan jiwanya pada Tuhan, tentang cintanya yang indah, kepedihan hatinya oleh kegagalan cinta, tentang pembelaannya terhadap manusia dan kemanusiaan. Meski jumlah puisinya sedikit dan masa perpuisiannya yang relatif pendek, namun Chairil Anwar mampu memelopori suatu bentuk puisi dengan wawasan baru dan mampu mengungkapkan pengalaman batin yang begitu lengkap. Karya-karyanya menunjukkan semangat yang berapi-api, seluruh kata yang diungkapkannya dalam puisi ditulis tuntas dan lugas.
Salah satu puisi fenomenalnya adalah berjudul ‘Aku’ berikut ini.
Kalau sampai waktuku
Kumau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Puisi yang ditulis Chairil itu melukiskan perasaan mencekam mengahadapi kematian yang seolah-olah sudah dekat dengannya.
Chairil harus berhenti menulis puisi pada tahun 1949. Ia wafat pada tanggal 28 April di Jakarta. Hari wafatnya dikenang dan diperingati sebagai hari Chairil Anwar yang kemudian menjadi Hari Sastra Indonesia. Meski telah tiada, tetapi penyair fenomenal itu selalu hidup dengan karnyanya yang indah hingga saat ini, seperti larik terakhir dalam puisinya yang berjudul ‘Aku’ (Aku mau hidup seribu tahun lagi).
Dimuat oleh : Herlina Agustina