03 Aug 2024

Herlina Agustina - Gulis (Guru Menulis)

Chairil Anwar, Penyair Angkatan 45 yang Fenomenal

Siapa yang tak kenal penyair hebat Chairil Anwar. Puisi-puisinya bahkan banyak ditemui dalam buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia. Chairil dilahirkan di Medan, 26 Juli 1922.

Puisi-puisi Chairil Anwar banyak mengungkapkan pengalaman manusia yang lengkap. Salah satunya adalah puisi ‘Nisan’ yang ditulisnya pertama kali, mengisahkan tentang kematian neneknya. Puisi Chairil juga berbicara tentang semangat, kekhusyukan jiwanya pada Tuhan, tentang cintanya yang indah, kepedihan hatinya oleh kegagalan cinta, tentang pembelaannya terhadap manusia dan kemanusiaan. Meski jumlah puisinya sedikit dan masa perpuisiannya yang relatif pendek, namun Chairil Anwar mampu memelopori suatu bentuk puisi dengan wawasan baru dan mampu mengungkapkan pengalaman batin yang begitu lengkap. Karya-karyanya menunjukkan semangat yang berapi-api, seluruh kata yang diungkapkannya dalam puisi ditulis tuntas dan lugas.

Salah satu puisi fenomenalnya adalah berjudul ‘Aku’ berikut ini.

Kalau sampai waktuku

Kumau tak seorang kan merayu

Tidak juga kau



Tak perlu sedu sedan itu



Aku ini binatang jalang

Dari kumpulannya terbuang



Biar peluru menembus kulitku

Aku tetap meradang menerjang



Luka dan bisa kubawa berlari

Berlari

Hingga hilang pedih peri



Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi



Puisi yang ditulis Chairil itu melukiskan perasaan mencekam mengahadapi kematian yang seolah-olah sudah dekat dengannya.

Chairil harus berhenti menulis puisi pada tahun 1949. Ia wafat pada tanggal 28 April di Jakarta. Hari wafatnya dikenang dan diperingati sebagai hari Chairil Anwar yang kemudian menjadi Hari Sastra Indonesia. Meski telah tiada, tetapi penyair fenomenal itu selalu hidup dengan karnyanya yang indah hingga saat ini, seperti larik terakhir dalam puisinya yang berjudul ‘Aku’ (Aku mau hidup seribu tahun lagi).

Dimuat oleh : Herlina Agustina