10 Jun 2024

Evi Novita - Gulis (Guru Menulis)

Titik Balik


Hujan yang mengguyur tak membuat langkahnya terhenti, tetesan hujan berbaur dengan tetesan air mata yang ikut tumpah bersamanya.

Sore itu Rena sudah tak sanggup lagi untuk berpijak di rumahnya sendiri yang dia tempati enam bulan yang lalu. Hatinya sudah tak bersahabat lagi dengan impiannya, mimpinya tak selaras dengan apa yang telah dia hadapi.

"Kamu sebaiknya tidak cepat untuk menikahinya, bereskan dulu kuliahmu, cari kerja agar hidupmu kelak tak bergantung kepadanya."

Kalimat ayahnya dulu terngiang kembali, seolah menghakiminya.

Petuah ayahnya terasa tepat sekali pada saat seperti ini, rasa berdosa kepada orangtuanya semakin melekat. Apa daya waktu tak pernah mau mengembalikannya secara utuh.

Bangku taman di pusat kota itu masih memberinya ruang untuk berpikir, memutar kembali ingatannya lalu muncul dengan jelas, sesuatu yang membuatnya duduk tertunduk di bangku bisu itu.

"Plaak"

Tamparan keras di pipinya serta dorongan tangan Dira membuat tubuhnya hampir tersungkur ke arah mesin cuci.

"Apa tidak cukup uang bulanan saya untuk memenuhi kebutuhan kamu?"

Rena hanya tertegun, tak ada firasat apapun dia akan menerima perlakuan yang membuatnya begitu terhina.

Siang itu Rena memberitahu ada petugas yang akan mengambil iuran bulanan pada sore hari.

"Aku hanya pinjam buat membayar uang bulanan RT, sampah juga ronda".

"Sore ini aku akan ke ATM, setelah beres mencuci dan mengembalikan padamu, Mas".

Dengan bibir yang masih bergetar menahan tangisan Rena memberikan alasannya.

"Kamu memang tidak mau kalah."

"Selalu begitu"

"Sudahlah aku sudah muak denganmu."

"Kalau mau pergi, silakan! Pintu belum saya kunci"

Dengan meninggalkan cucian bajunya yang belum beres, Rena mulai berkemas untuk segera pergi.

Kalimat tajam yang dari suaminya, Dira, sepertinya menyuruhnya untuk segera menuju pintu keluar.

Beberapa jam terpekur di bangku,sebagai teman bisunya, Rena mulai merayap menyusuri pinggir pagar taman itu. Dia ingat ada ATM di sekitar taman itu, dia ambil beberapa lembar uang kertas yang tersisa sebagai bekal, uang yang dia kumpulkan dari les yang dia adakan di musola dekat rumahnya, tak seberapa tapi sangatlah berarti untuknya.

"Aku sebaiknya pergi kemana ya?"

Tatapan nanar masih terlihat jelas, pemandangan sore hari di taman itu tampak tak jelas keindahannya, yang terlihat olehnya hanyalah kabut hitam tebal, sebuah kekecewaan pada dirinya sendiri.

Rena bergumam sendirian, tak bisa ambil pilihan untuk saat seperti ini.

Dan akhirnya sampailah ke sebuah rumah berpagar coklat, rumah sahabat karibnya, Desi.

Sebuah keputusan yang dianggapnya paling tepat.

"Rena, kamu pasti lagi jelek ya sama Dira?,

Desi memang sudah mengenal banyak Rena cukup lama, jadi tidak terlalu sulit untuk menerka keadaan sahabatnya yang berada di depannya.

"Kesalahan terbesarku adalah terlalu mencintainya"

"Tak ada seorangpun yang bisa mencegahnya, tidak orangtuaku, saudara, juga kamu Des".

Rena mulai menghela nafas panjangnya, terasa berat untuk mengucapkannya, ada rasa sesak yang harus dia keluarkan agar alam sadarnya kembali normal.

"Sampai Dira menamparku hari ini. Rasa sayangku berubah menjadi rasa benci."

Rena mulai membuka rahasia dirinya.

Air matanya kembali tumpah dipelukan Desi, sahabatnya.

"Kamu memang memaksakan cintamu ke Dira, walau kamu tahu Dira hanya menginginkan cinta sejatinya,yang sudah lebih dulu menikah".

"Yaa, akhirnya dia terpaksa menikahimu, mungkin karena rasa kasihan saja".

Rena mengangguk, semua ucapan sahabatnya tak ada yang salah sedikitpun.

"Aku akan minta maaf ke orangtua dan memulai segalanya dari awal, menamatkan kuliahku ,cari kerja dan membenahi sisa hidupku".

Bayangan pernikahan yang indah bersama Dira hanya ilusi semata, hanya mengharapkan sedikit saja cinta dari Dira harus dia lalui dengan banyak kerikil dan bongkahan batu tajam, dan akhirnya dia terperosok sendirian di dalamnya.

Esok harinya Rena bergegas meninggalkan rumah Desi dengan sedikit keraguan di dalamnya. Ragu akan perasaannya untuk bertemu orangtuanya yang tentu saja sudah menduga akhir perjalanannya bersama Dira.

"Sudahlah Rena, ini pembelajaran terbaik buatmu, sebuah takdirNya yang diciptakan untukmu, kamu harus menerimanya dengan hatimu yang luas".

Ayahnya mulai membuka percakapan di pagi itu, ada kesejukan mengalir di seluruh tubuhnya, rasa kasih sayang yang benar-benar tulus yang tidak pernah dia dapatkan dari seorang lelaki yang bernama Dira.

Rena hanya menangis dan bersujud di pangkuan ibunya ketika ayahnya mengusap halus bahunya.menguatkannya agar bangkit dari kisah lalunya.

"Terima kasih Bu ,Ayah"

Hanya itu yang terucap seiring bulir air matanya yang tak henti berderai.

"Bangku kuliahmu sudah menunggu, hanya itu harapanmu, cita-cita yang sempat terhenti, raihlah kembali!"

Ibunya yang merasakan kepedihannya mulai membuka pintu untuk Rena.

Tiga tahun sudah berlalu, Rena berhasil mengangkat toga sarjananya dan melemparkannya lepas dari kepalanya seolah ingin melepaskan semua beban hatinya, untuk dia tangkap dan menjadikannya sebuah sosok baru.

Tahun berikutnya, dia mulai bekerja di satu perusahaan yang membuatnya memberinya kehidupan yang baru, bayangan Dira sudah tak ada lagi di pelupuk matanya.

"Desi, aku sudah bekerja selama lima bulan, Alhamdulillah rizki tak pernah berhenti".

"Hari ini aku mau mengajakmu jalan, kita makan di luar, mau kan ya?"

"Tanda terima kasih, kamu sudah mendengarkan keluhku".

Desi hanya tersenyum, ada kebahagiaan yang sama seperti dirasakan Rena.


"Menikah itu harus ada dasar cinta, pengertian dari dua orang yang berada di dalamnya"

"Apalagi seperti kamu yang menikah muda hanya mengandalkan penghasilan suamimu saja".

"Sebaiknya dipikirkan lagi ya, kalau berkeinginan untuk married lagi ya Ren!".

Rena membalasnya dengan pelukan erat ke tubuh sahabatnya.

Impian tentang kisah Cinderella tak berlaku lagi untuk kehidupan akhir zaman ini, segudang cinta juga tak cukup untuk membeli semua harapannya, yang ada hanyalah kepura-puraan yang membelit dirinya.

"Kakiku belum kuat untuk menahan kerasnya angin kencang yang kukira waktu itu hanya akan ada angin sepoi semata yang akan menerpaku.

Rena menutup obrolannya, membuat simpulan atas semua yang terjadi.

Dia gandeng tangan sahabatnya untuk mengayun ke suatu tempat.

Hanya berdua mereka duduk di meja ,di sebuah toko kue mungil yang selalu mereka kunjungi di dekat sekolahnya, serasa mereka berbajukan seragam putih abu, dan tengah bercerita tentang indahnya masa - masa SMA.

Dimuat oleh : Herlina Agustina