Sejak kepergianmu, rumah ini terasa lebih luas dari sebelumnya. Tapi bukan luas yang melegakan, melainkan yang mencekik. Seperti ada ruang-ruang kosong yang tak bisa kuisi. Seperti ada suara-suara yang lenyap begitu saja, meninggalkan gema samar yang hanya bisa kudengar di malam-malam sepi.
Aku benci tanpamu, maka aku mengusirnya dengan cara yang kupikir bisa membuatku lupa. Aku keluar rumah lebih sering, tertawa lebih keras, dan bermain lebih lama. Aku mengira, dengan begitu, kesedihan tidak akan punya waktu untuk mengejarku.
Tapi aku lupa satu hal—anak-anak kita masih ada di rumah, menungguku.
Malam ini, aku pulang lebih larut dari biasanya. Di meja makan, hanya ada satu piring yang masih penuh, dengan makanan yang sudah dingin. Aku mengenal piring itu. Itu milik anakku.
Aku menemukannya di kamar, berbaring dengan tubuh yang tampak lebih lemah dari biasanya. Baru kusadari wajahnya pucat, napasnya terdengar berat.
“Kau sakit?” tanyaku, suaraku terdengar ragu.
Dia tidak langsung menjawab. Hanya menatapku sejenak, lalu tersenyum tipis.
“Sudah tiga hari,” katanya singkat.
Tiga hari. Tiga hari dia sakit, sementara aku sibuk mencari cara mengusir sepi.
Aku menatapnya lebih lama, lalu duduk di tepi ranjangnya. “Kenapa tidak bilang?”
Dia diam. Aku menghela napas, merasa ada sesuatu yang menusuk di dalam dada.
“Kau tidak ada di rumah, Bu,” katanya akhirnya, pelan, seperti gumaman yang hampir tak terdengar.
Aku memejamkan mata sejenak.
Benar. Aku tidak ada di rumah. Aku kehilangan cara menjadi rumah bagi anakku sendiri.
Aku menyentuh keningnya, memastikan demamnya tidak semakin tinggi. Dia tidak menolak, tapi tidak juga bereaksi. Aku meraih tangannya, menggenggamnya dengan erat, seolah ingin memastikan bahwa aku masih bisa menjadi tempatnya pulang.
“Maaf,” bisikku.
Dia tidak menjawab, hanya mengeratkan genggamannya sedikit.
Dan di malam itu, di dalam rumah yang tetap terasa kosong, kami saling menerima kehadiran yang selama ini hampir menghilang. Tapi kehampaan itu tidak pergi. Tidak sepenuhnya.
Mungkin, memang ada kehilangan yang tidak bisa diisi kembali.
Aku masih menggenggam tangannya, tetapi dia tidak berkata apa-apa lagi. Matanya menatap langit-langit kamar, kosong. Seperti ada sesuatu yang ingin dia katakan, tetapi tertahan di tenggorokannya.
“Ada apa?” tanyaku pelan.
Dia menarik napas dalam-dalam, seolah sedang berusaha mengumpulkan keberanian. Lalu, suaranya pecah.
“Ibu selalu pergi...”
Aku terdiam.
“Setelah Bapak nggak ada, aku pikir kita akan tetap sama, Bu.” Suaranya bergetar. “Aku pikir kita akan saling menemani. Tapi sekarang, aku jarang lihat Ibu di rumah. Kalau aku sakit, aku sendirian. Kalau aku mau cerita, aku nggak tahu harus ke siapa. Rumah ini sepi, Bu.”
Mataku terasa panas. Aku menunduk, menatap jemari yang masih kugenggam. Jemari yang dulu begitu kecil saat aku genggam pertama kali, saat dia lahir ke dunia.
“Aku juga kangen Bapak, Bu.”
Aku menutup mulutku, menahan isak yang hampir pecah. Tuhan, betapa bodohnya aku.
Selama ini, aku terlalu sibuk melawan kesedihanku sendiri, sampai aku lupa bahwa aku bukan satu-satunya yang kehilangan. Aku lupa bahwa anak-anak juga kehilangan ayah mereka. Aku lupa bahwa mereka juga butuh seseorang untuk bersandar, seperti aku butuh sandaran setelah kepergianmu.
Aku pikir dengan pergi, aku bisa menghindari rasa sakit. Tapi aku tidak sadar bahwa aku justru meninggalkan mereka di dalam kesakitan mereka sendiri.
Tanganku bergerak, merengkuhnya dalam pelukan.
“Aku di sini,” bisikku. “Aku di sini.”
Dia tidak berkata apa-apa, tapi aku bisa merasakan dadanya yang naik turun dengan isakan tertahan.
Kepergianmu meninggalkan kekosongan, tetapi aku tidak boleh membuat anak-anak kita merasakan kehilangan dua kali.
Aku menyesap napas dalam-dalam, lalu berjanji dalam hati—aku akan pulang.
Rumah ini memang tak akan pernah sama lagi, tapi setidaknya, kami masih punya satu sama lain.
Dan mungkin, dengan itu, kami bisa tetap bertahan.
Dimuat oleh : Herlina Agustina