28 Nov 2024

Siti Zaqiah, 8C - Walis (Siswa Menulis)

Secangkir Teh yang Dingin


Malam yang dingin dan sepi hanya ditemani suara jangkrik yang nyaring. Ku sendiri di rumah, bersantai dan menyeduh teh panas dan manis kutambah gula. Kusiapkan selembar kertas beserta pena. Duduk dan mulai menulis. Setiap huruf, kata ku torehkan di selembar kertas kosong.

Hanya bermodalkan kertas dan Pena, aku bisa meluapkan emosi yang selama ini aku sembunyikan rapat-rapat. Ku ikat rambutku yang terurai panjang, aku berpikir aku harus segera memotong rambutku yang panjang ini lebih pendek.

Ku tulis semua hal yang memuakkan. Rasa marah,sedih, kecewa semuanya tercampur rata. Entah sampai kapan aku bisa bertahan. Untunglah Tuhan memberiku kesempatan untuk menulis semua hal yang memuakkan ini. Setidaknya aku bisa merasa lega dan didengarkan walau hanya sebatas kertas dan pena biarkan aku sibuk di dunia aku sendiri.

Kenapa orang-orang yang kusebut 'teman' ini tidak ingin membiarkan diriku bercerita? Padahal aku juga ingin menceritakan apa saja hal yang terjadi di hidupku, entah senang atau duka, aku hanya ingin didengarkan. Aku merasa ketika aku mulai bercerita orang-orang yang kau sebut 'teman' itu mengalihkan pandangannya dariku. Kenapa, apa ada yang salah? Aku hanya ingin bercerita, apakah aku terlalu membosankan?

Pikiranku dipenuhi pertanyaan yang tak terjawab kan, juga penuh dengan luapan emosi yang tak bisa ku luapkan. Yang bisa kulakukan hanyalah menulis, menulis, dan menulis. Dan ketika ada yang bercerita padaku aku selalu menyimak dan mendengarkan dengan baik. Karena aku tahu bagaimana rasanya diabaikan.

Seseorang mendobrak pintu rumahku. Ku abaikan karena memang aku sudah tidak peduli siapapun itu. Aku menoleh, laki-laki yang tinggi Dia memakai topeng ninja. Lihat, dia memegang pisau yang berlumuran darah.

Kenapa dia hanya diam? Oh dia berjalan ke sini. _Jleb_ dia menusuk perutku. Ah- padahal aku sudah menyiapkan teh yang ku campur dengan pestisida padahal dia tak perlu repot untuk membunuhku begini. "Tunggu dulu, aku belum selesai menulis," ucapku berusaha melepaskan pisau yang menancap di perutku. Ah... Sakit sekali, padahal aku bisa minum teh ini lalu mati. Aku tidak perlu kesakitan seperti ini.

Aku berhasil melepaskan pisau itu di perutku. "Ini, ku kembalikan padamu, pergilah sebelum ada yang melihatmu," ucapku menyerahkan pisau yang berlumuran darahku sendiri. Setelah ini aku mati kan? Tapi aku harus selesaikan tulisanku dulu.

Orang itu pergi begitu saja setelah Aku menyerahkan pisau miliknya itu. Tanganku berlumuran darah saat aku tadi melepas pisau di perutku. Darahku keluar sangat banyak, setelah ini aku mati kan?

Tak peduli sekarang pena dan kertas berwarna merah. Ku tetap lanjutkan menulis. Tanganku sudah mulai lemas, sekarang lantai licin karena darahku yang bercucuran. Pandanganku mulai kabur. Ah... Teh ku sudah dingin aku belum sempat meminumnya. Tadinya aku membutuhkannya tapi sekarang sepertinya tidak aku butuhkan lagi. Karena sebentar lagi aku mati.

Aku harus berterimakasih kepada orang tadi, setidaknya aku tidak mendapat dosa karena bunuh diri dengan minum teh yang dicampur pestisida. Baiklah, aku sudah selesai menulis.

Teh yang dingin dan lembaran kertas bercucuran darah. Ku jadikan kalian saksi akhir hayatku. Terima kasih selalu mendengarkan ku, kertas, Pena, Dan juga teh hangat yang manis.

*TAMAT*

Dimuat oleh : Herlina Agustina