Setiap kali kubangun pagi, aku selalu menemukan lelaki itu mengasah seringai dan seongok ruh di ujung tempat tidurnya. Lelaki yang sama, dengan senyuman yang sama. Lalu mata kami akan saling menatap, sesaat.
“Kita sudah menikah”, gumamku hanya dalam hati.
Kami sudah menjalani pernikahan selama beberapa bulan. Rasanya, ada banyak sekali perubahan dalam hidupku.
Di masa silam, sebelum menikah, aku tak pernah membayangkan akan berjibaku dengan tumpukan baju kotor, piring-piring berserakan, serta detergen bubuk yang membuat kulit mengelupas. Aku tak pernah membayangkan akan berada dalam sebuah toko untuk melayani para pembeli, sambil membereskan barang-barang penuh debu, sampai bulu hidungku meronta-ronta meminta berhenti.
Suatu kali pernah terjadi, kalau sedang jengkel, kuseret tumpukan buku di meja kerjaku, tak perduli luka, atau sampai terbelah dua.
“Ya Tuhan.. Tolong!”, gumamku lagi merasa putus asa.
Kejengkelan dan rasa lelahku yang membuatnya menjadi seperti itu.
Namun pada akhirnya, kupunguti kembali buku-buku yang berjatuhan tadi. Membereskannya sambil menangis. Selalu menangis. Dan sebuah kerudung menutupi keningku yang basah, lalu kuseka dengan tangan berlumur debu.
Tak seorang pun tahu kemurungan itu. Kecuali lelaki yang kuceritakan selalu mengasah seringai di ujung tempat tidurnya, “Kamu menangis?”, “kamu kenapa?”, katanya selalu diucapkan berulang kali.
***
“Perempuan itu cantik, di masa silam”.
Sebelum menikah, aku tak pernah membayangkan akan berkacak di depan kompor, panas apinya mencucuh sampai kepada wajahku. Tak lupa, percikan minyak panas juga bersimburan mengguyur pergelangan tangan, dan setelah selesai memasak, kubersihkan semua. Aroma bawang tak sedap menguar di udara, menempel di bajuku, di rambut, di sekujur tubuh.
Suatu kali aku teringat, di masa sendiri, aku pernah makan di sebuah restoran dengan pisau dan garpu. Serta bunga mawar putih dari plastik dalam gelas antik di tengah meja. Aku duduk dengan kaki menyilang anggun, lalu berbincang dengan kawan-kawanku, membicarakan masa depan.
Setiap kali mematut diri di depan cermin, aku selalu menggerutu dalam hati, “Lihatlah dirimu. Sekarang tak terawat”.
Hal itu kulakukan setiap hari, di pagi hari, setelah suamiku pergi, sebelum aku berangkat bekerja membantu ibu mertua melayani pembeli.
***
Beberapa kali, ketika aku lelah, dan orang-orang di sekitarku membuat ulah, aku sangat ingin meneriaki mereka tepat di depan wajahnya.
“Ke toko siang mulu”, celetuk mereka.
Padahal di balik itu semua, aku menghabiskan waktu dan tenaga untuk mengurus anak lelakinya dan pekerjaan rumah. Belum lagi kandunganku yang semakin hari semakin membesar, rasa mual dan badan lemas membuat waktu ku sisihkan untuk beristirahat sebentar.
Sesekali, aku sangat ingin duduk dekat lelaki itu sambil bercerita, betapa hari-hariku teramat melelahkan. Namun, keinginan itu takkan pernah kulakukan. Sebab sepulang ia kerja, mata lelah yang sama kutemukan di matanya, mata suamiku.
Sebelum benar-benar memejamkan mata, kerap kali aku melihat diriku di masa lalu terbang di langit-langit, berjalan anggun di udara, dan selalu ada suara lembut berbisik di ambang kesadaran, “Kau adalah seorang istri yang cantik. Memang cantik.”
***
Setelah bangun, aku menyadari hidupku tak lagi sama. Hari-hari ku akan berbeda. Orang-orang yang kutemui setiap harinya, adalah orang yang berbeda pula. Mereka memiliki karakter yang harus kuterima kekurangannya.
Bagaimana pun, hidup harus tetap kujalani.
Dan biarkan kepedihan menjadi puisi-puisi yang melepuh di mataku.
*