23 Feb 2025

Evi Novita - Gulis (Guru Menulis)

Kemenangan Tanpa Piala


Dengan sedikit berlari, anak berseragam putih biru itu menghampiri seorang ibu yang telah menunggunya.

"Ibu,ada nilai 7 nya, gapapa ya Bu, tapi nilai yang lainnya pada bagus"

Ibunya mengenyitkan dahinya ketika melihat deretan angka di buku laporan anak bungsunya itu.

"De,kenapa nilai PPKn nya kecil, ya?"

"Mungkin nilai PAS dan tugasnya terlalu kecil dan guru kesulitan untuk menambah nilaimu, Nak."

Ibunya hanya beranggapan demikian, karena diapun merasakan bagaimana sulitnya menjadi seorang guru.

Ibunya tak mengingkari kemampuan anaknya yang sedikit kerepotan dalam aspek kognitif, jadi mungkin saja nilai di aspek itu sedikit rendah dibanding teman-temannya.

Bola mata anaknya agak layu, mungkin terlihat olehnya kekecewaan ibunya akan nilai yang didapatnya.

"Atau mungkin Dede pernah dipanggil walikelas atau Guru BK karena berulah di kelas? berkelahi atau usil atau membully teman-temanmu,bermain handphone saat belajar?"

Anaknya menggelengkan kepalanya,sedikit kaget dengan serentetan pertanyaan ibunya.

"Maaf ya Bu,ke depan Dede akan lebih rajin belajar."

Hanya itu kalimat yang terakhir diucapkannya,sebelum dia beranjak untuk mengganti baju seragamnya.

Langkah anak kesayangannya terhenti dan berbalik untuk memeluk ibunya,seraya lirih berkata

"Dede sayang Ibu"

Kalimat yang biasa anak itu ucapkan sebelum mereka tertidur.

Ibunya pun mengusap helaian rambut di kepalanya.
Kalimat yang ampuh untuk menaklukkan hatinya yang saat itu sedang rapuh.

Dia pikir anaknya sudah menyadari keteledorannya,dan itu adalah sebuah nilai berharga,sebuah kejujuran menurutnya lebih penting dari apapun.

Ibunya meneruskan melihat lembar demi lembar kertas putih berlogo sekolah yang berisi nilai beserta deskripsinya.Tak ada yang istimewa sampai didapatinya rekap kehadiran anaknya yang tertulis "sakit 1 hari".

Seketika air matanya perlahan berderai,terbayang perjuangan anaknya enam bulan yang lalu mulai bangun subuh,mandi,berdandan sendiri juga langkah yang tergesa-gesa agar dia dapat bersalaman dengan guru-gurunya di gerbang sekolahnya dan dalam cuti sakitpun dia memaksakan dirinya untuk tetap berada di kelas.

Masih teringat juga anaknya yang berjuang untuk tetap sekolah meskipun harus berjuang dengan virus temannya yang beraneka ragam,bersikeras untuk segera pulang ke rumah karena tak ingin ketinggalan solat jumatnya.

Hati ibunya melemah,detak jantungnya pun berangsur teratur, menyadari akan egonya yang sedang tidak baik ketika memberinya senyuman getir dan menyerangnya dengan berbagai pertanyaan risaunya ke arah anak tercintanya itu.

"Tak ada yang bisa menilai anakku,hanya orang-orang yang lebih mengenal dan sering menemaninya."

Ibunya bermain perasaan dengan keadaan.Hatinya yang saat itu sedikit kecewa tertutupi oleh anaknya yang selalu bersikap manis ketika berada di sisinya.

Piala kemenangan buat semangat anaknya sepertinya harus dia persiapkan,nilai lebih dari 100 pun akan dia persembahkan.

Ibu itu menjadi teringat ketika dia berada dalam suatu IHT di tempat kerjanya.

Di salah satu kupasan dari seorang pemikir dan pemerhati pendidikan,dimana Beliau memberikan filosofisnya yang berbunyi:

" Semua anak itu setara,semua anak itu memiliki keunikan masing -masing"

"Mereka memiliki keistimewaan di bidangnya masing-masing, tanpa harus diberikan sertifikat atau piala karena mereka telah memilikinya sejak berada dalam rahim ibunya dan bertahan hidup sampai dia lahir ke dunia dengan selamat"

"Tak ada yang salah dengan anak itu,yang salah adalah orang dewasa yang tak mau mendekat dan mengenalinya."

Sepertinya paparan Doktor muda tadi sesuai dengan apa yang dirasakan Ibu itu.

Ibunya menjadi lega.

Dia ternyata tidak sendirian memikirkan nilai berupa deretan angka,dan mungkin saja angka yang kecil itu menurutnya kelak akan membawa anaknya menjadi seseorang yang besar.Insya Alloh.

Dimuat oleh : Herlina Agustina