13 Dec 2024

Herlina Agustina - Gulis (Guru Menulis)

Hujan Kita di Beranda


Dua anak kecil itu bermain di halaman rumah. Yang satu berusia sekitar lima tahun, yang lain tiga tahun, tapi tawa mereka sama riangnya.

Hahaha!

Suara ceria itu menggema. Mereka berlarian, mengejar bayangan satu sama lain, seolah itu adalah permainan paling menyenangkan di dunia.

Aku duduk di teras, memandangi mereka. Tawa tanpa beban itu seperti alunan lagu. Pemandangan mereka yang begitu polos membuatku teringat pada masa kecilku.

Dulu, aku juga seperti mereka. Segalanya terasa begitu sederhana. Kebahagiaan hanya sejauh bermain lompat tali atau berlari-lari di bawah sinar matahari. Tak ada rasa khawatir tentang apa yang akan terjadi esok, atau rasa sakit hati yang menggurat dalam.

Seiring waktu, semuanya berubah. Dunia orang dewasa tak lagi sesederhana tawa anak-anak. Ada beban, ada luka, dan ada kelelahan yang seringkali sulit dijelaskan.

Tetapi, saat ini, melihat mereka berlari dengan wajah ceria, beban di dadaku terasa sedikit terangkat. Aku tak bisa menahan senyum kecil yang muncul tanpa sadar.

“Aku menang!” teriak si kecil yang lebih besar sambil bertepuk tangan.
“Tidak, aku yang menang!” balas adiknya dengan suara nyaring, lalu keduanya kembali tertawa bersama, seolah dunia mereka tak punya ruang untuk perdebatan.

Ada sesuatu yang ajaib dalam tawa mereka. Sesuatu yang perlahan meresap ke dalam hatiku, mengobati luka-luka kecil yang belakangan terasa semakin tajam.

Mungkin aku tak bisa kembali ke masa kecil. Tapi sore ini, aku bersyukur bisa menikmati tawa mereka. Itu sudah cukup untuk membuatku merasa sedikit lebih ringan.

Tiba-tiba, hujan kecil mulai turun. Butir-butir air menetes pelan di atas daun dan tanah. Aku berpikir anak-anak itu akan segera berlari masuk ke dalam rumah, berlindung dari hujan. Tapi, nyatanya tidak.

Mereka malah semakin senang. “Hujan! Hujan!” teriak si kecil yang lebih besar sambil berputar-putar di bawah rintik air. Adiknya tertawa, mengikuti gerakannya.

Aku masih duduk di teras, menyaksikan mereka bermain di bawah hujan. Tawa mereka makin menggema, bercampur dengan suara gerimis yang kini semakin deras.

Tiba-tiba, si kecil berlari ke arahku, menarik tanganku. “Ayo, Kak! Main hujan!” katanya dengan suara riang.

“Aku sudah besar, tidak main hujan lagi,” jawabku sambil tersenyum, mencoba menolak halus.

“Kakak, ayoooolah!” kakaknya ikut menarik tanganku. “Sekali saja! Seru banget!”

Aku ragu sejenak. Tapi akhirnya, aku bangkit dari kursi, melepas sandalku, dan melangkah ke halaman bersama mereka.

Hujan membasahi tubuhku, dinginnya langsung meresap ke kulit. Tapi anehnya, aku justru merasa hangat.

Anak-anak itu mulai berputar, melompat, dan menari di tengah hujan. Aku tertawa kecil, tapi mereka tak puas. “Kakak juga harus nari!”

Aku tak bisa menahan tawa, lalu mengangkat tangan, mengikuti irama hujan yang tak kasatmata. Kami menari bersama di bawah rintik hujan, mengabaikan dingin, mengabaikan basah, mengabaikan segalanya.

Saat itu, aku merasa bebas. Tawa anak-anak itu seperti melodi yang memecah sunyi, menghancurkan semua beban luka yang nyaris membunuhku.





Dimuat oleh : Herlina Agustina