18 May 2024

Evi Novita - Gulis (Guru Menulis)

Gumpalan Rindu


"Bu, ini harganya berapa?"
"Merk baru ya Bu?"
Pertanyaan anakku yang kedua kujawab dengan anggukan.
"Dua Ribu" jawaban singkat kuberikan di sela kesibukanku menggoreng tahu dan tempe yang dilumuri tepung untuk kujajakan sore ini.

Sani, kuberikan nama indahnya karena wajahnya begitu mungil, bulat dengan kulit putihnya membuatku bahagia ketika dia berada di pangkuanku pertama kalinya. Anaknya yang gemulai dan penurut berbeda sekali dengan kakaknya yang cekatan membantu melayani pembeli setelah pulang sekolah.

Tahun berganti, warung tempat jualan gorengan dan aneka macam makanan ringan dan minuman beraneka warna berubah menjadi toko yang lumayan besar di kampungku.

Memanglah tempatnya tepat berada di depan sekolah dasar yang setiap harinya penuh dengan anak-anak dan orang tua yang mengantar. Rumah peninggalan orangtuaku yang memberikan suatu keberuntungan bagi keluargaku.

"Bu, dua bulan lagi Sani sudah kelas sebelas, tidak terasa ya Bu? dengan nada bergetar dia memberitahuku akan prestasinya.Jujur aku tidak mengenyam pendidikan sejauh itu,dengan mengapit ijazah SD, aku digiring ibu untuk membantu berjualan dan seterusnya dijodohkan dengan anak sahabatnya yang masih sekampung denganku.

"Semoga lancar ya Ni!" Lulus dan mendapat kerja,seperti Anto kakakmu itu" lanjutku penuh harap.

Semakin hari semakin banyak permintaan dan pesanan yang harus diselesaikan setiap harinya. Kadangkala urusan di rumah tak kuhiraukan, yang di pikiranku hanyalah bagaimana mengumpulkan pundi keberuntungan untuk memenuhi kebutuhan sekolah anak-anakku dan memperlebar sayap dengan membangun kost an yang terletak tak jauh rumah. Aku begitu bangga akan pencapaian dan serasa tangan Sang Pencipta tak berhenti membantuku.

"Sani, mengapa belum mandi juga?"

"Sudah jam enam lebih" aku sedikit berteriak .

Kuhampiri anakku yang masih terbaring, sekilas matanya terbuka tetapi segera menutup dengan tangan memegang perutnya.

"Perutku sakit lagi Bu" suara pelannya membuatku tersentak.

Seminggu yang lalu,aku bawa ke dokter dengan keluhan yang sama. Kata Dokter Sandi di ususnya ada masalah. Penyakit remaja yang biasa makan pedas kekinian . Tiga hari istirahat di rumah, seterusnya bersekolah meski agak sempoyongan dan diantar jemput oleh kakaknya,tetapi tetap membantuku seusai sekolah,mungkin terlihat aku begitu sibuk dengan tugas rutin setiap sore untuk memenuhi pesanan pelanggan.

"Tidak usah sekolah dulu,nanti kakakmu yang tulis surat untuk diantar ke sekolahmu".

"Istirahatlah nanti juga akan sembuh sendiri",Aku meyakinkannya.

Hari semakin sore tapi keadaan Sani tidak begitu baik kuberharap esok hari akan segera pulih dengan memakan sisa obat yang ada.

"Sani ingin dirawat saja Bu!",permintaan yang tak biasanya.

Aku terkejut akan ucapannya,tapi setelah kulihat badannya yang begitu lemas akhirnya kuturuti .

Pagi itu ruang IGD sesak dengan pasien yang membawa keluhannya menjadi suasana hati semakin tak tentu,khawatir dan rasa takut ketika melihat dan mendengar tangisan,jeritan kesakitan yang kerap terdengar,blangkar yang kerap kali melewati sepertinya satu horror bagiku.

"Ibu harus pulang dulu ada pesanan yang harus ibu antarkan".

"Ibu sudah buat janji jam 4 harus sudah sampai di rumahnya",Aku memberi alasan kepadanya,setelah dia telah diperiksa dokter dan dipasang infus oleh perawat.Aku rasa semuanya aman kutinggalkan.

"Ada Anto yang menjagamu ya San?",lanjutku pelan.


Aku dengan langkah tergesa meninggalkan ruang tindakan itu,terbayang pelangganku sudah tak sabar menungguku di pintu rumahnya.

Malam itu,Sani meneleponku,ingin pulang karena merasa tidak nyaman dengan keadaan di ruangan itu.

"Besok pagi ibu ke rumah sakit,setelah membereskan semua pekerjaan ibu dan belanja untuk keperluan toko",Aku berbicara di telpon,berusaha menenangkan Sani yang selalu memanggilku untuk segera menjenguknya.

Jam 8 pagi,semua pekerjaanku beres,agenda belanja ke pasar sudah terlaksana termasuk mengantarkan pesanan gorengan untuk diantarkan ke SD tetangga dan bersiap untuk bertemu Sani di tempat pesakitannya.

"Ibuuu",terdengar panggilan dari arah depan toko rupanya anakku yang bungsu berlari sambil mengacungkan gadgetku yang selalu dia pinjam sebelum pergi ke sekolah,sekedar untuk bermain game bersama temannya.

"Kak Anto",ujarnya singkat.

Kuambil benda itu dan terlihat belasan panggilan tak terjawab, kudengar tangisan Anto yang meraung dengan kalimat yang tak jelas kudengar.

"Sani meninggal Bu,"setelah beberapa saat tangisnya mereda.

Dunia seakan menimpaku,rasa berat di kepalaku seperti tak bisa kutahan,lemas sekujur tubuh membuatku ambruk di depan tokoku.

"Sani selalu memanggil ibu sejak subuh tadi tadi,badannya panas dan mengigau terus",Anto berkata sambil berkaca-kaca,duduk disebelahku.Kalimatnya seolah menyalahkanku atas kepergian adiknya.

Wajah pucatnya berbalut kain kafan tak kuasa kutatap,rasanya tak percaya begitu cepatnya anakku berpulang.Tangisan seakan tak lelah untuk mengalir ke dua pipiku,membasahi hampir seluruh wajahku.

Rasa bersalah dan sesal yang menggunung ,tak akan bisa digantikan oleh jutaan sapaan dan ucapan bela sungkawa yang mengalir lewat pelayat.

Hanya kata "Mengapa?"yang tertulis di benakku.

Gundukan tanah berhias namanya,kuusap,tak ada kata perpisahan,aku yakin suatu hari pasti Sani akan menyambutku di pintu surga.

"Maafkan Ibu,San!"

Aku meraung,tak peduli sekeliling yang berusaha mencekal tanganku yang meraup tanah merah di dekat pusaranya,mengharap keberadaan anakku di sana.

Toko yang begitu megah terlihat suram.Setiap bungkus makanan dan kemasan minuman seakan tergambar wajah anakku,terbayang dengan tangan yang gemulai melayani anak kecil yang sambil berceloteh menunjukkan jajanannya.
Masa kecil dan remajanya terkurung di tokoku.Aku sangat menyadarinya dan itu adalah mutlak kesalahanku.

Pesanan makanan yang biasanya menjadi penyemangat hidupku tak kuhiraukan,malah menjadikanku semakin sakit,ucapan dan alasanku waktu itulah yang mungkin membuat anakku bertambah terguncang jiwanya.Dia hanya memerlukan perhatian dari seorang ibu yang sibuk dengan ambisinya.

Dan hari ini aku teramat merindukannya.
Gumpalan rindu yang semakin mengeras sepertinya memerlukan waktu yang cukup lama untuk menguraikannya.

Aku sudah tak sanggup lagi untuk melihat fatamorgana yang setiap hari mendatangiku.Penyesalan yang tak berakhir menyeretku untuk segera mengakhiri petualangan bodohku.Aku terperdaya oleh duniawi,melupakan harta yang sebenarnya kupunya,harta yang hakiki.

Di balik pintu tokoku kutempelkan kata "DIJUAL", kutawarkan ke siapa saja yang bisa menghargai dan memaknai hidup sehingga pemilik toko selanjutnya tak bernasib seperti pemilik sebelumnya.


Dikutip dari sebuah obrolan

Dimuat oleh : Herlina Agustina