11 May 2024

Eulis Siti Hajar - Cerdik (Cerita Mendidik)

Diferensiasi Cuci Piring

Aku bukan tipe orang yang bisa istiqomah mencuci piring dan perlengkapan dapur kotor lainnya segera setelah peralatan tersebut digunakan. Dengan alasan, biar beukah dulu, jadi biar lebih gampang dicucinya. Dan, itu membuat cucianku menumpuk tak karuan di wastafel di dapurku.

Sampai tiba pada saatnya mencuci, aku mulai pusing melihatnya. Orang bilang itu tanda stress karena melihat cucian numpuk. Ingin kuteriak, tapi itu tidak menyelesaikan masalah cucianku. Ingin kuhindari tapi tak bisa, karena itu berarti akan lebih banyaklah tumpukan itu dan menambah beban stress ku.

Daripada berlama-lama, saat mood ku datang, aku langsung mengenakan celemek plastik untuk menghindari terkena cipratan air dari keran. Dengan Bismillah kuserukan dalam hatiku, aku pun mulai menghadapi wastafel tercinta. Daan.... akupun disergap rasa bingung, darimana dulu aku harus mulai. Karena cucianku lengkap banget, mulai dari piring kotor yang kotor ringan, yang kotor sedang (berminyak) dan kotor berat (berminyak dan berlemak bercampur santan). Belum lagi mangkuk, penggorengan dan panci-panci dengan kategori kotor yang mirip piring-piring tadi.

Aku, sebagai perfeksionis yang melankolis serta visual, langsung otomatis bergerak untuk memilah dulu, karena menurutku kalo langsung dicuci, maka kotoran yang beraneka ragam itu akan bercampur baur mencemari perlengkapan yang tidak terlalu kotor, dan pekerjaan pun jadi berat. Karena nantinya, spons nya jadi ikut kotor dan sabunnya jadi tercampur kotoran. Apalah jadinya kalau sabun dan spons kotor itu digunakan untuk mencuci. Bukannya bersih, malah menyebabkan kekotoran lainnya.

Hfffh....

Dengan demikian, maka aku putuskan untuk mengumpulkan panci, penggorengan dan pelengkapan kotor lainnya dalam satu kelompok, kemudian perlengkapan dengan kotor sedang dalam satu kelompok, trakhir kelompok cucian yang tingkat kotornya ringan.

Aku mulai proses mencuciku dengan kelompok cucian yang kotornya ringan. Dengan menggunakan sabun dan spons yang masih lumayan bersih. Lanjut dengan cucian dengan tingkat kotor sedang, masih dengan spons dan sabun yang tadi, tapi dicuci dengan bersih setelahnya. Setelah habis yang sedang, baru kugarap cucian dengan kotor berat, dengan spons yang berbeda dan ditambah spons kawat supaya bersih maksimal. Beres sudah cucianku, legaa rasanya. Pikiran plong, karena aku sudah menyelesaikan tugas yang tak kalah berat dengan pekerjaanku di sekolah.

Ya, aku belajar diferensiasi di wastafel kecilku. Bagaimana aku tidak menyamaratakan perlakuan terhadap berbagai jenis cucian itu. Apalah lagi siswa di kelas. Yang didalamnya berisi berbagai karakter dan latar belakang siswa. Itu baru dari satu sisi, belum lagi dari sisi kemampuan menyerap pembelajaran yang aku berikan yang sangat pasti berbeda.
Saat aku berhadapan dengan mereka, kutatap satu-persatu wajah mereka, kucoba pahami dan itu butuh waktu yang tidak sebentar untuk mencari dan menemukan proses pembelajaran seperti apa yang cocok untuk masing-masing mereka.

Siswa yang berasal dari keluarga utuh, orang tua yang harmonis, memiliki pekerjaan yang tetap terjamin kecukupan gizinya (sehat raga) dan terjamin bathinnya (sehat jiwa), itu masuk ke kategori ringan dalam penanganannya. Biasanya mereka ada di level kelompok aman.

Siswa yang berasal dai keluarga yang utuh, tapi keadaan ekonomi pas-pasan, masuk ke kategori sedang, dan membutuhkan perhatian.
Sementara, siswa yang berasal dari keluarga yang tidak utuh (orang tua bercerai, menikah lagi, tinggal hanya bersama ibu/bapak, bahkan ada yang dititipkan di nenek, dan lain sebagainya), biasanya memiliki jiwa yang rapuh dan memilih untuk meghindar dari kelas. Mereka membutuhkan perhatian khusus.

Meski tentu saja pengelompokkan ini kadang tidak berlaku untuk sejumlah siswa perempuan. Mereka biasanya masih bisa mengelola dirinya dengan baik, meski keadaan sekitarnya tidak baik-baik saja.
Tatkala aku coba semakin sadari, semua itu berputar-putar dikepalaku. Jangan heran wahai diriku kalau kamu menemukan di kelas hanya beberapa gelintir siswa laki-laki yang masih tampak duduk di bangkunya, sementara yang lainnya dikabarkan berada di luar kelas atau bahkan ada yang memutuskan pulang duluan atau sekedar nongkrong di warung.
Meraka butuh diberesin dulu dirinya, mereka juga bingung terhadap dirinya. Kemana harus mereka mencari dan bagaiman cara menemukan jati diri.

Di zaman yang luar biasa ini, tak hanya skill mengajar yang dibutuhkan, tidak hanya cara mengumpulkan nilai untuk dimsukkan ke raport yang dibutuhkan, tapi lebih dari itu, mereka membutuhkan ilham, inspirasi dan motivasi yang tidak mendoktrin untuk membuat mereka berubah.
Mereka berbeda, mereka benar-benar tidak sama. Mereka berulah, bukan untuk membuatku marah, tapi mereka sedang mencari, terimalah mereka apa adanya, tentu saja dengan tetap mengingatkan dengan cara yang seperti aku inginkan ketika aku diingatkan. Bukan dipermalukan dan dicemooh. Hilang harga diri membuat mereka kena mental. Berhati-hatilah wahai diri. (ESH)


Dimuat oleh : Herlina Agustina