Kutundukkan kepalaku di jam subuh. Sesekali kuusap air mata yang tak terbendung mengalir. Asa telah terkalahkan oleh takdir. Aku siap dengan apa yang akan terjadi, menerimanya tanpa paksaan.
Sayup-sayup seseorang di kamar depan mengucapkan "Innalillahi Wainnaillahi Rojiun".
Rasa dingin menyeruak, hanya gelap yang aku rasakan dan setelah itu aku tidak ingat apa-apa.
Ada aroma minyak putih menyengat hidungku, terbangun dalam pangkuan adik iparku, mencoba mengingat apa yang telah terjadi.
Kulangkahkan kakiku menuju ke tempat dimana suamiku terakhir terbaring. Ku pandangi wajahnya yang terbujur kaku dengan senyum tipis menghias bibirnya. Begitu tenang beliau pergi. Hanya tatapan hampa disertai doa dan dzikir tiada henti terucap di bibirku yang masih bergetar menahan rasa sedih yang teramat dalam.
Sesekali ada tangisan dari keluarga dekatku yang berada di sisinya sejak kemarin, disertai iringan doa terdengar mengharu biru, mengantarkan beliau untuk menghadap sang Khalik.
"Mbak, Mas Yan sudah berpulang tepat Adzan subuh" bisik adik iparku setengah tertahan oleh isakan tangisnya.
Aku memang sengaja menghindar ketika helaan nafas Mas Yan mulai melemah, tak ingin tangisanku menghalangi kepergiannya. Hanya berbalut mukena putih bersimpuh di atas sajadah, mengikhlaskan kepergian belahan jiwaku.
Kututupi wajahnya dengan kain yang sudah kupersiapkann tiga hari semenjak kesehatan Mas Yan mulai menurun. Ingatannya berbaur dengan tidur lelapnya. Sesekali mengacungkan jempolnya dan tersenyum ke arahku.
"Iya, mbak sudah mengikhlaskan kepergiannya " lirihku berusaha untuk tegar karena memang itu yang harus kulakukan dan Mas Yan harapkan. Ikhlas menerima takdir Illahi.
"Nanti ya kita bertemu di sana?" bisikan lemah yang terakhir beliau ucapkan, sambil mengusap halus tanganku. Bisikan itulah yang menjadikan kekuatan untuk melanjutkan hidup bersama orang-orang yang tersisa di daftar keluargaku.
Raungan ambulan mengiringi kepedihan. Semua pelayat tertegun ,seakan belum menerima kepergiannya. Akan tetapi daun Sidrat Al -Muntaha berukir namanya telah jatuh menandakan waktu berada di dunia telah berakhir dan kembali untuk menghadap kepada Penciptanya.
Kutaburkan segenggam bunga mawar ke gundukan tanah merah bertulis namanya. Kuusap nisan kayu dan kuberikan doa yang terbaik. Ingin rasanya tidur di sisinya tetapi sama saja dengan menolak kehendakNya.
"Tunggu aku ya Mas di surga firdaus kita, tidurlah yang tenang, mamah ikhlas!",kalimat terakhir diiringi kucuran air yang membasahi tempat peristirahatan terakhirnya.
Sambil mengapit kedua anakku, kulangkahkan kakiku menjauhi area pemakaman.
"Kita pasti kuat Nak,Bapak sudah berada di tempat yang abadi,aku berkata lirih tanpa menatap wajah kedua anakku,tak kuasa menatap bola matanya yang sembab oleh tangisannya.
"Tak ada yang menghalangi kehendak Nya,Sang Maha Agung telah mempersiapkannya segala sesuatunya sekecil apapun sebelum kita lahir ke dunia dan menyiapkan skenario terbaiknya untuk keluarga kecil kita."
Asaku t'lah berakhir berganti oleh keabadian yang kujemput kemudian,bersamanya di surga nanti.Insya Alloh.
Garut, 4 Desember 2023
Untuk mengenang
Alm.Pade
Dimuat oleh : Herlina Agustina